LAPORAN
PENDAHULUAN
ASUHAN
KEPERAWATAN
EFUSI
PLEURA
OLEH
ANREKA
YUDHA TIMOR ( 04.013 )
AKADEMI
KEPERAWATAN
KABUPATEN
LAMONGAN
2005/2006
EFUSI PLEURA
1.
KONSEP DASAR MEDIS
1.1
Pengertian.
Efusi pleuran adalah keadaan dimana terdapat penumpukan
cairan dalam rongga pleura (Sorparman, 1990 : 89).
Efusi pleura adalah cairan dalam rongga pleura, cairan
pleura normal menembus perlahan rongga pleura dari garis kapiler plura kapiler
pleura parietal dan di serap oleh kapiler pleura viseral dam limfe (M Blsck,
1997 : 1166).
1.2
Etiologi.
1)
Hambatan reabsorbsi cairan rongga
pleura, akrena adanya bendungan seperti pada decompensasi cordis, penyakit
ginjal, tumor mediastinum, syndroma meig (tumor ovarium).
2)
Pembentukan cairan yang berlebihan
karena radang (TBC, pneumonia, virus), bronchiectasis, abses amuba subfrenik
yang menembus rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan
karena rauma.
1.3.Patofisiologi
Di dalam rongga pleura terdapat kurang lebih 5ml cairan
yang cukup untuk membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura
veseralis. Cairan dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya
tekanan hidrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian cairan ini
di serap kembali oleh kapiler paru dan pleura dan viseralis, sebagian kecil
lainnya (10-20%) mengalir ke dalam pembuluh limfe sehingga pasase cairan disini
mencapai 1 liter seharinya.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura (efusi pleura) terjadi
bila keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada hiperemia
akibat inflamasi, perubahan tekanan osmotik, (hipoalbuminemia), peningkatan
tekanan vena (gagal jantung). Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung
karena bendungan vena disertai peningkatan tekanan hidrostatik, dan serosis
hepatik tekanan osmotik koloid yang menurun. Eksudat dapat disebabkan antara
lain oleh keganasan dan infeksi. Cairan keluar langsung dari kapiler sehingga
kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini juga mengandung banyak
sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya rendah sekali atau nihil
sehingga bert jenisnya rendah.
Infeksi tuberkulosis pleura biasanya disebabkan oleh efek
primer sehingga berkembang pleuritis eksudativa tuberkulosa. Pergeseran antara
kedua pleura yang meradang akan menyebabkan nyeri. Suhu badan mungkin hanya sub
febris, kadang ada demam. Diagnosis pleuritis tuberkulosa eksudativa ditegakkan
dengan pungsi untuk pemeriksaan kuman basil tahan asam dan jika perlu
torakskopi untuk biopsi pleura.
Pada penangannya, selain di perlukan tuberkulostatik, di
perlukan juga istirahat dan kalau perlu pemberian analgesik. Pungsi dilakukan
bila cairan demikian banyak dan menimbulkan sesak nafas dan pendorongan
mediastium ke sisi yang sehat. Penanganan yang baik akan memberikan prognosis
yang baik, pada fungsi paru-paru maupun pada penyakitnya.
1.4.Patogenesis.
Patogenesis terbentuknya cairan pleura terbagi atas tiga
bagian :
1.4.1.Non
malignancy
Dalam keadaan fisiplogis cairan pleura berkisar antara 10 –
20 cc dan cairan ini bervariasipadas latihan fisik (Yanda 1993).
Sedangkan muller mendapatkan tekanan hidrostetik intra
pleura minus 5 cm H2O. Menurut teori driving pressure adalah sama
dengan perbedaan tekanan hidrostatik (tekanan intrapleura dikurangi dengan
hidrostetik kapiler dan tekanan ini besarnya 6 cm H2O). Jadi dasar
pembentukan ini adalah tekanan hirostetik lebih besar dari tekanan osmotik.
Pada pleura viseralis dimana perbedaan tekanan osmotik
lebih besar dari pada tekanan hidrostatik. Pada pleura viseralis terjadi
penghisapan cairan dengan kekuatan penghisapan sama dengan perbedaan tekanan
osmotik intra kapiler dan intra pleura. Keseimbangan cairan pleura berdasarkan
atas tekanan positif pada pleura parietalis dan negatif pada pressure
viseralis, secara teori pembentukan cairan ini dapat di bagi atas :
1)
Eksudat
(1)
Permeabilitas kapiler pleurah
bertambah
(2)
Pengalihan cairan limfe rongga
pleura terhambat.
2)
Transudat.
(1)
Bendungan sistemik dari arteri
pulmonalis
(2)
Hipoproteinemia sistemik dengan
merendahnya koloid osmotik plasma.
(3)
Tekanan intra pleura yang negatif.
(4)
Pembesaran transudat intra
peritonial melalui sistem limfe.
1.4.2.Pleuritis
Eksudat malignant
Pada pluritis eksudative malignant faktor fisiologis ini
tidak dapat lagi diperhitungkan oleh mekanisme. Pembentukan cairan memberikan
gambaran patologis antara lain :
1)
Erosi pembuluh darah dan pembuluh
limfe.
2)
Pleuritis akibat sekunder infeksi
dari tumor.
3)
Obstruksi pembuluh darah atau
pembuluh limfe.
4)
Implantasi sel tumor pada plasma.
Pembentukan cairan seperti ini
menyebabkan dcairan cepat terkumpul dan bertahan. Keadaan ini berlangsung
secara masif dan hemoragik.
Perbedaan Cairan Eksudat dan ransudat.
No
|
Transudat
|
Eksudat
|
|
1
2
3
4
5
|
Lebih
jernih
Mengandung
protein kurang dai 39%
BJ
kurang dari 1,016
Mengandung
sel-sel mesofeloid
Kadar
LDH dalam efusi kurang dari 200
|
Lebih
keruh, warna lebih tua
Mengandung
protein lebih dari 19 %
BJ
lebig dari 1,016
Mengandung
sel-sel radang (Leukosit, lymfasit dan makrofak) dan kuman-kuman
Kadar
LDH dalam efusi lebih dari 200
|
|
Percobaan Rivalka dengan meneteskan
serosa kedalam larutan Rivalka (asam asetat glasiat 1, aquabides ad 100). Bila
keadaan kekeruhan berupa awan-awan rivalka (+), sebaiknya cairan diperiksa
secara kultur yaitu dengan biopsi pleura apabila penyebab belum diketahui
secara pasti.
1.5.Tanda
dan gejala.
1.5.1.Sesak
nafas
1.5.2.Rasa
berat pada dada
1.5.3.Keluhan
akan gejala karena penyakit dari karena neoplasma.
1)
Lemah yang progesif
karena neoplasma
2)
Batuk-batu darah pada perokok
Ca bronkus
3)
Demam subfebris.
Pada tuberculosa.
4)
Demam menggigil.
Pada empyema.
5)
Ascites.
Pada arteri hepatis.
1.5.4.Nyeri
pleura (gangguan pada pleura dana rongga pleura)
Nyeri pleura merupakan manifestasi umum dan digolongkan
dengan gangguan varietas yang timbul dari pleura parietalis yang mana kaya akan
suplai nervus sensori akhir. Nyeri pleura yang indikasi adanya inflamasi pleura
(pleuritis) dengan pneumoni infark pulmo yang merupakan sebab lain efusi pleura
sering disertai dengan frichon sub pleura yang didapatkan selama auskultasi
dada. Nyeri dada pleura dapat membatasi usaha RR normal, yang penting untuk
masalah pertukaran gas dan kebersihan jalan nafas jika tindakan untuk
membebaskan nyeri masuk dalam pemberian resep analgesik juga bisa dengan
kolaborasi dengan dokter untuk menggunakan Blok pada syaraf intercosta.
1.6.Diagnosis.
1.6.1.Pemeriksaan
Fisik.
1)
fremitus yang menurun
2)
perkusi yang pekak
3)
suara nafas yang menghilang pada
auskultasi.
1.6.2.Foto
ronkgen thorax : PA, Lateralis.
1)
Tampak terdorongnya mediastinum
pada sisi yang berlawanan dengan cairan.
2)
Dapat menunjukkan mula terjadinya
efusi pleura yakni bila jantung yang membesar, adanya tumor, adanya lesi tulang
destruktif.
3)
Pada permulaan didapati
menghilangnya sudut costa fremitus.
4)
Bila cairan lebih dari 300 ml akan
terlihat cairan dengan permukan
melengkung.
1.6.3.CT
(Computer Tomografi).
Adanya perbedaan densitas cairan dengan cairan
disekitarnya, adanya efusi pleura.
1.6.4.Thorakosintesis
1)
Dilakukan pada linea axilaris
anterior dan posterior pada iga ke 8.
2)
Warna cairan pleura kekuningan
(serous / xantho / crhome).
3)
Bila agak kemerahan dapat terjadi
pada trauma, infark paru, keganasan dan adanya kebocoran anurisma aorta.
4)
Bila berwarna kuning ehijauan dan
agak purulent menunjukan empyema.
5)
Bila merah tengguli dapat terjadi
abses karena amoeba.
6)
Perbedaan cairan eksudat dan
transudat.
1.6.5.GDA
(gas darah analisa).
Pa CO2 kadang-kadang meningkat.
Pa O2 normal atau saturasi O2 turun.
1.6.6.Biopsi
pleura.
Pemeriksaan histologi satu atau beberapa contoh-contoh
jaringan pleura dapat menunjukkan 50 – 70 % diagnosis kasus – kasus pluritis
tuberculosa dan tumor paru.
1.7.Dignosa
banding.
1.7.1.Efusi
pleura dengan cairan transudat.
1)
gagal ventrikel kiri.
2)
Serosis.
3)
Nefrotik syndrom.
1.7.2.Efusi
pleura dengan cairan eksudat.
1)
Para oneumonia blokeril / viral.
2)
Infark pulmonal.
3)
Mikro bakterium.
1.7.3.Efusi
pleuran dengan cairan berdarah, trauma torak, keganasan.
1.7.4.Efusi
pleura dengan cairan hilus, trauma torak, lymfoproliferasi.
1.8.Komplikasi.
1)
Pneumothorax
2)
Hemothorax
3)
Infeksi pada dinding dada.
4)
Tumor pada dinding dada.
1.9.Terapi.
1.9.1Aspirasi
cairan pleura / punksi.
Punksi ditujukan pula dengan tujuan melakukan aspirasi atas
dasar gangguan fungsi ventrikel paru atau terjadinya desakan pada alat-alat
mediastinal. Punksi pleura dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis cairan.
Komplikasi dari punksi yaitu :
1)
Trauma.
2)
Pemindahan mediastinum
3)
Gangguan keseimbangan cairan PH,
elektrolit, anemia dan hipoproteinemia.
1.9.2.Water
sailed drainase (WSD).
Telah dilakukan oleh berbagai penyelidikan akan tetapi bila
WSD ini di hentikan maka akan terjadi kembali pembentukan cairan (Anderson,
1974).
1.9.3.Penggunaan
obat-obatan.
1)
Mustargen 0,4 mg / kg BB, dosis 20
– 40 mg dalam 100 cc larutan garam.
2)
Theothepa 20 – 50 mg intra pleura.
3)
Mabrine 250 mg dalam 100 cc
aquabides.
4)
Flura ureil metomycine.
2.
KONSEP DASAR ASKEP
2.1
Pengkajian.
2.1.1.Biodata
: Terjadi pada anak-anak dan usia tua.
2.1.2.Keluhan
utama : Sesak nafas.
2.1.3.Riwayat
keperawatan
2.1.3.1.Pola
aktivitas
1)
Gejala :
(1)
Keletihan, kelelahan, malaise.
(2)
Ketidak mampuan untuk melakukan
aktifitas sehari-hari karena sulit bernafas.
(3)
Dispnea saat istirahat / respon
terhadap latihan.
2)
Tanda :
(1) Keletihan, gelisah, insomnia, keletihan umum.
2.1.3.2.Pola
nutrisi
1)
Gejala :
(1)
Mual, muntah
(2)
Nafsu makan menurun
2)
Tanda :
(1)
turgor kulit buruk.
(2)
Odem dependent.
2.1.3.3.Pola
hygene
1)
Gejala :
(1)
Penurunan kemampuan / peningkatan
bantuan dalam aktifitas sehari-hari.
2)
Tanda :
(1)
Kebersihan buruk, bau badan.
2.1.3.4.Pola
interaksi sosial.
1)
Gejala :
(1)
Hubungan ketergantungan
(2)
Kurangnya sistem pendukung
(3)
Kegagalan dukungan dari / terhadap
pasangan / orang terdekat.
2)
Tanda :
(1)
Ketidak mampuan mempertahankan
suasana.
(2)
Keterbatasan mobilitas fisik.
(3)
Kelainan hubungan dengan anggota
keluarga lain.
2.1.3.5.Pola
Keamanan
1)
Adanya trauma dada.
2)
Radiasi, kemoterapi untuk
keganasan.
2.1.4.Pemeriksaan
fisik
2.1.1.1
Sirkulasi
1)
Takikardi, disaritmia.
2)
S3 / S4 /
irama jantung gallop.
3)
Nadi apikal berpindah oleh adanya
penyimpangan medial stinal.
4)
Hipertensi / hipotensi.
5)
DVJ, pneumothorax.
6)
Tanda homenan (bunyi rendah
sehubungan dengan penyimpangan denyutan jantung, menunjukkan adanya udara
mediastinum ).
2.1.1.2
Pernafasan.
1)
Gejala :
(1)
Kesulitan nafas.
(2)
Batuk
(3)
Riwayat bedah dada dan trauma,
penyakit paru kronis, infeksi.
(4)
Penyakit menyebar (sarkaides),
keganasan.
2)
Tanda :
(1)
Pernafasan, peningkatan frekwensi
/ takipnea.
(2)
Peningkatan kerja nafas, penggunaan
obat aksesori pernafasan pada dada, leher, retraksi intercosta, ekspirasi
abdominal kuat.
3)
Bunyi nafas : Pekak diatas area
yang terdiri dari cairan.
4)
Fremitus menurun (sisi yang
terlibat)
5)
Observasi dan palpasi dada :
gerakan tidak sama, penurunan pengembangan thorax.
6)
Kulit : Pucat, cyanosis,
berkeringat, krepitasi subkutan, odem pada jaringan dengan palpasi.
7)
Mental : Asites, gelisah, bingung
dan pingsan.
8)
Penggunaan ventilasi mekanik
tekanan positif / terapi DEEP
2.1.2
Pemeriksaan diagnostik
1)
Sinar X dada : Menyatakan
akumulasi cairan pada area pleura.
2)
GDA : Variabel tergantung dari
derajat fungsi paru yang di pengaruhi gengguan mekanik pernafasan dan kemampuan
mengkompensasi.
3)
Thorako sintesis : Menyatakan
darah / cairan serousngiosa.
4)
Pemberian cairan pleura (-),
thorako sintesis
5)
HB : Mungkin menurun, menunjukan
kehilangan darah
2.1.3
Prioritas keperawatan
1)
Meningkatkan / mempetahankan
ekspansi paru untuk oksigen / ventilasi adekuat.
2)
Meminimalkan / mencegah komplikasi
3)
Menurunkan ketidak nyamanan /
nyeri.
4)
Memberikan informasi tentang
proses penyakit, program pengobatan dan prognosis.
2.1.4
Tujuan pemulangan
1)
Ventilasi / oksigenasi adekuat
dipertahankan.
2)
Komplikasi dicegah / teratasi.
3)
Nyeri tak ada / terkontrol.
4)
Proses penyakit / prognosis dan
kebutuhan terapi dipahami.
2.2
Diagnosa keperawatan
1)
Pola pernafasan tak efektif b/d
penurunan ekspansi paru, nyeri / ansietas, proses inflamasi dan gangguan
muskuloskeletal yang ditandai dengan dispnea, takipnea, perubahan kedalaman /
keasaman pernafasan, penggunaan otot assesoris, PCH, gangguan pengembangan
dada, sianosis, dan GDA tak normal.
2)
Penghentian nafas, resiko terhadap
berhubungan kurangnya pendidikan pencegahan / keamanan.
3)
Kurangnya penguatan (kebutuhan
belajar) mengenai kondisi, aturan pengobatan b/d kurangnya informasi yang
ditandai dengan mengekpresikan masalah dan meminta informasi.
2.3
Rencana keperawatan.
2.3.1
Diagnosa I
1)
Kriteria evaluasi.
Pasien akan menujukkan pola pernafasan normal dengan GDA
normal, bebas sianosis dan hipoksia.
2)
Intervensi :
(1)
Mengidentifikasi faktor pencetus /
etiologi.
R/ Pemahaman penyebab kolap paru perlu untuk pemasangan
selang dada yang tepat dan memilih tindakan terapeutik lainnya.
(2)
Evaluasi fungsi pernafasan, catat
kecepatan pernafasan, sesak, dispnea keluhan lapar, nafas sianosis, dan
perubahan TTV.
R/ Distress pernafasan dan perubahan TTV dapat terjadi
akibat setress fisiologis dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok
sampai hipoksia perdarahan.
(3)
Auskultasi bunyi nafas.
R/ Area atelektasis tak ada bunyi nafas dan sebagian area
kolaps menunjukkan bunyi nafas menurun, mengetahui perbaikan dari efusi pleura
(4)
Kaji pasien adanya area nyeri
tekan bila batuk / nafas dalam.
R/ Sokong terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk
lebih efektif atau mengurangi trauma.
(5)
Pertahankan posisi yang nyaman,
biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur.
R/ Meninggikan inspirasi maximal dan meningkatkan ekspansi
paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
(6)
Bila selang dada dipasang, periksa
pengontrol penghisapan dengan jumlah hisapan yang besar.
R/ Mempertahankan tekanan negatif inra pleura sesuai dengan
yang diberikan.
(7)
Berikan O2 tambahan.
R/ Menurunkan kerja nafas, menghilangkan sianosis sampai
hipoksia.
2.3.2
Diagnosa II
1)
Kriteria evaluasi.
(1)
Mengenal kebutuhan / mencari
bantuan untuk mencegah komplikasi.
(2)
Pemberian perawatan akan
memperbaiki / menghindari dari lingkungan dan bahaya fisik.
2)
Intervensi :
(1)
Kaji dengan pasien tujuan / fungsi
unit drainase dada, catat gambaran keamanan.
R/ Informasi tentang bagaimana sistem bekerja memberikan
keyakinan, menurunkan ansietas pasien.
(2)
Pasang kateter thorax kedinding
dada dan berikan panjang selang ekstra sebelum memindahkan mengubah posisi
pasien.
R/ Mencegah terlepasnya kateter dada atau terlihat selang
dan menurunkan nyeri sehuibungan dengan penarikan atau menggerakkan selang.
(3)
Berikan bantalan pada salah satu
sisi dengan kasa atau plester.
R/ Melindungi iritasi atau tekanan pada kulit
(4)
Awasi sisi lubang pemasangan
selang catat kondisi kulit adanya / karakteristik drainase dari sekitar.
R/ Memberikan pengenalan dini dan mengobati adanya erosi
atau infeksi kulit.
(5)
Anjurkan pasien untuk menghindari
berbaring / menarik selang.
2.3.3
Diagnosa III
1)
Kriteria evaluasi
(1)
Menyatakan pemahaman penyebab
masalah (bila tahu).
(2)
Mengikuti program pengobatan dan
menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu untuk mencegah terulangnya masalah.
2)
Intervensi :
(1)
Kaji patologi masalah individu.
R/ Informasi menurunkan perasaan takut karena ketidak
tahuan.
(2)
Identifikasi kemungkinan kambuh /
komplikasi jangka panjang.
R/ Penyakit paru yang ada seperti PPOM berat dan keganasan dapat
meningkatkan insiden kambuh.
(3)
Kaji ulang praktik kesehatan dan
latihan.
R/ Mempertahankan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan
dan mencegah kekambuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Dale Beng, ND
(2000), Ilmu Penyakit Dalam, Hipokrates, jakarta.
Doengoes E, Marilyn
(2000), Rencana asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC. Jakarta.
Joyce M, Blavk (1997), Medical Surgical Nursing,
Fifth Edition, WB Saunders Company, Philadelpia.
Purnawan Junaidi (1982), Kapita Selekta Kedokteran,
Edisi 2, Penerbit Media Aeskulapius, FKUI, Jakarta.
Tabrani Rab (1986), Prinsip Gawat Paru< EGC,
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar